Loading...
world-news

Agresi Militer Belanda - Proklamasi & Revolusi 1945–1949 Materi Sejarah Kelas 12


Agresi Militer Belanda merupakan salah satu episode paling kelam dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia setelah Proklamasi 17 Agustus 1945. Meski Indonesia sudah menyatakan kemerdekaannya, Belanda masih berupaya menguasai kembali tanah jajahan lamanya. Dua kali Belanda melancarkan agresi militer berskala besar, yakni Agresi Militer Belanda I (1947) dan Agresi Militer Belanda II (1948). Kedua peristiwa ini bukan hanya menguji ketahanan militer Indonesia yang masih muda, tetapi juga membuka mata dunia internasional tentang kesungguhan bangsa Indonesia mempertahankan kedaulatannya.

Artikel ini akan membahas secara mendalam mengenai latar belakang terjadinya agresi, jalannya peristiwa, reaksi dunia internasional, hingga dampaknya bagi perjalanan sejarah Indonesia.


Latar Belakang Agresi Militer Belanda

1. Proklamasi Kemerdekaan Indonesia

Pada 17 Agustus 1945, Sukarno dan Mohammad Hatta memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Namun, pengakuan kemerdekaan tersebut tidak serta-merta diterima oleh Belanda yang sebelumnya menjajah Indonesia selama lebih dari tiga abad. Belanda masih menganggap Indonesia sebagai bagian dari Hindia Belanda yang harus dikembalikan setelah berakhirnya Perang Dunia II.

2. Kedatangan Sekutu dan NICA

Setelah Jepang menyerah pada Sekutu, pasukan Inggris yang tergabung dalam AFNEI (Allied Forces Netherlands East Indies) datang ke Indonesia dengan tugas melucuti tentara Jepang. Namun, bersamaan dengan itu ikut pula NICA (Netherlands Indies Civil Administration), lembaga sipil Belanda yang bertujuan mengembalikan kekuasaan kolonial. Kehadiran NICA memicu ketegangan, sebab rakyat Indonesia menolak kembali dijajah.

3. Perundingan yang Tidak Pernah Membuahkan Hasil

Untuk menghindari perang terbuka, diadakan serangkaian perundingan antara Indonesia dan Belanda. Di antaranya Perundingan Linggarjati (1946) dan Perundingan Renville (1947). Namun, Belanda selalu mencari celah untuk menguasai wilayah yang lebih luas, sementara Indonesia menuntut pengakuan kedaulatan penuh.

4. Kepentingan Ekonomi Belanda

Selain motif politik, Belanda memiliki kepentingan ekonomi yang besar di Indonesia. Perkebunan, pertambangan, dan perdagangan di Hindia Belanda telah lama menjadi sumber kekayaan negeri itu. Kehilangan Indonesia berarti kehilangan sumber devisa yang vital bagi pemulihan ekonomi Belanda pasca-Perang Dunia II.


Agresi Militer Belanda I (21 Juli 1947 – 5 Agustus 1947)

1. Alasan dan Dalih Belanda

Pada 21 Juli 1947, Belanda melancarkan serangan besar-besaran dengan alasan Indonesia melanggar perjanjian Renville dan melakukan gangguan keamanan. Operasi ini dinamakan Belanda sebagai "Politionele Actie" (Aksi Polisi) untuk menutupi fakta bahwa itu adalah agresi militer.

2. Jalannya Serangan

Belanda menyerang Jawa dan Sumatra, merebut kota-kota penting seperti Medan, Semarang, dan Surabaya. Pasukan Belanda yang dilengkapi persenjataan modern jauh lebih unggul dibanding Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang masih terbatas senjatanya. Meski demikian, TNI menggunakan taktik perang gerilya untuk melemahkan posisi Belanda.

3. Reaksi Dunia Internasional

Agresi ini memicu kecaman luas dari dunia internasional, termasuk dari PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa). Dewan Keamanan PBB kemudian mengeluarkan resolusi yang menuntut gencatan senjata. Tekanan dari Amerika Serikat dan India sangat berpengaruh dalam menghentikan agresi tersebut.

4. Hasil

Agresi Militer I akhirnya dihentikan dengan perundingan yang melahirkan Perjanjian Renville (17 Januari 1948). Namun, isi perjanjian lebih menguntungkan Belanda karena Indonesia harus menarik pasukan dari wilayah kantongnya di belakang garis demarkasi.


Agresi Militer Belanda II (19 Desember 1948 – 29 Januari 1949)

1. Latar Belakang

Perjanjian Renville ternyata tidak menyelesaikan konflik. Belanda masih belum rela memberikan kedaulatan penuh kepada Indonesia. Pada 19 Desember 1948, Belanda kembali melancarkan serangan, kali ini dengan target utama menghancurkan pusat pemerintahan Republik Indonesia di Yogyakarta.

2. Serangan ke Yogyakarta

Pasukan Belanda melancarkan operasi besar-besaran yang disebut Operatie Kraai (Operasi Gagak). Ibu kota Yogyakarta diserang, Presiden Sukarno, Wakil Presiden Hatta, Sutan Sjahrir, dan beberapa tokoh lainnya ditawan. Pemerintahan Republik Indonesia seakan lumpuh.

3. Perlawanan Rakyat dan TNI

Meskipun pemimpin republik ditawan, perlawanan rakyat dan TNI tidak padam. Jenderal Soedirman memimpin perang gerilya, bergerak dari desa ke desa untuk mempertahankan semangat perjuangan. Peristiwa heroik seperti Serangan Umum 1 Maret 1949 di Yogyakarta membuktikan bahwa Indonesia masih eksis dan berjuang.

4. Reaksi Dunia Internasional

Agresi Militer II menimbulkan gelombang kecaman lebih keras dari internasional. Amerika Serikat, India, dan negara-negara Asia lainnya mendesak Belanda menghentikan agresi. PBB kemudian membentuk Komisi Tiga Negara (KTN) yang memediasi konflik.

5. Akhir Agresi

Akhirnya, Belanda dipaksa menghentikan agresinya. Tekanan internasional semakin kuat, hingga Belanda terpaksa mengadakan Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag pada akhir 1949. Dari sinilah lahir pengakuan kedaulatan Republik Indonesia Serikat (RIS) pada 27 Desember 1949.


Dampak Agresi Militer Belanda

1. Politik

Agresi militer memperlihatkan kepada dunia bahwa Belanda masih bersikeras menjajah, tetapi juga memperkuat posisi diplomasi Indonesia di dunia internasional. Dukungan internasional, khususnya dari PBB, India, dan Amerika Serikat, sangat membantu mempercepat pengakuan kedaulatan Indonesia.

2. Sosial

Agresi menimbulkan penderitaan rakyat. Ribuan orang mengungsi, ratusan ribu kehilangan mata pencaharian, dan banyak korban jiwa. Namun, agresi juga memperkokoh semangat persatuan bangsa untuk melawan penjajahan.

3. Militer

TNI memperoleh pengalaman penting dalam strategi perang gerilya. Walaupun kalah dalam persenjataan, semangat juang dan taktik rakyat semesta mampu membuat Belanda kesulitan menguasai seluruh wilayah.

4. Ekonomi

Perang menyebabkan kerusakan infrastruktur dan melumpuhkan perekonomian. Namun, justru hal ini mendorong Indonesia untuk memperkuat kemandirian ekonomi setelah merdeka.


Analisis Sejarah

Agresi Militer Belanda membuktikan bahwa kemerdekaan tidak datang dengan mudah. Bangsa Indonesia tidak hanya melawan penjajah secara militer, tetapi juga berjuang di meja diplomasi. Peran diplomasi internasional menjadi faktor kunci dalam memenangkan pengakuan kedaulatan.

Belanda akhirnya menyadari bahwa mempertahankan Indonesia dengan kekuatan militer semata adalah sia-sia. Tekanan internasional, terutama dari Amerika Serikat yang saat itu sedang mengawasi penyebaran komunisme di Asia, memaksa Belanda untuk mengalah.

Agresi Militer Belanda I dan II adalah bukti bahwa kemerdekaan Indonesia harus dipertahankan dengan pengorbanan besar. Dari peristiwa ini, bangsa Indonesia belajar bahwa perjuangan tidak hanya di medan perang, tetapi juga melalui diplomasi internasional.

Dua agresi tersebut pada akhirnya justru memperkuat posisi Indonesia di mata dunia, hingga akhirnya Belanda mengakui kedaulatan pada Konferensi Meja Bundar 1949.

Agresi Militer Belanda menjadi catatan penting bagi generasi sekarang untuk terus menjaga persatuan dan kedaulatan bangsa. Sejarah ini bukan hanya tentang perang, tetapi juga tentang keteguhan hati sebuah bangsa yang tidak mau kembali dijajah.